Mendatang

Langit sore sehabis hujan itu entah kenapa bisa indah sekali, apalagi jika langitnya berwarna biru, cerah, tapi tanpa ada matahari. Hujan lebat yang menyisakan genangan membuat suasana makin sejuk ditengah keramaian jalan menuju jam pulang kerja.

Aku sedang berada di coffee shop dekat rumah sakit tempatku bekerja. Dari lantai dua aku bisa melihat dengan jelas jalanan yang mulai padat, untungnya aku menyelesaikan shift pagi sesuai jadwal tanpa ada shift memanjang, jadi aku tidak harus ikut berdesakan di jalan itu.

Satu notifikasi masuk ke handphone ku

“Aku lupa, tadi kamu bilang meja nya nomor berapa ya?”

“Nomor 9” aku mengirim pesan singkat

Sekitar sepuluh menit kemudian dia datang, wajahnya tampak sedikit kebingungan sampai aku menaikkan tangan hingga ia melihat lambaian tangan ku.

Enam bulan lalu aku menemuinya untuk terakhir kali saat ia resmi menyandang gelar dokter, tidak banyak yang berubah dari dia, cara berjalannya, style, bahkan kacamatanya pun masih kacamata yang sama seperti terakhir kali aku bertemu dia.

“Lama gak nunggunya? sory ya, macet banget”

“Iya gapapa” sahutku dengan wajah yang entah seperti apa ekspresinya

“Udah mesen belum?”

“Udah sih, tapi belum dateng pesenan nya”

“Yaudah aku pesen minum dulu ya”

“Oke”

Dia pergi meninggalkanku untuk memesan minum di meja depan. Entah kenapa sejak dia datang, perasaanku aneh, tapi hari ini aku ingin tahu apakah dia masih seperti dia yang semasa kuliah aku kagumi.

Enam bulan terakhir, aku dan dia hanya saling berkirim pesan, padahal kami bekerja di rumah sakit yang sama, hanya beda gedung, tapi dia memang sedang menjalankan internship, jadi aktivitasnya sebagai seorang dokter memang sangat padat. Entah perkembangannya seperti apa, sampai celetukan ku dia kabulkan

“Ketemu yuk, ngopi bentar atau apa gitu, udah lama banget kita ga ketemu”

dulu, dia paling susah untuk sekedar diajak nongkrong sebentar, jangankan nongkrong, semasa kuliah, tidak ada yang bisa berharap untuk dia bisa membalas pesan dengan cepat, jangankan dibalas, dibaca aja enggak, sebelum ditegur pas ketemu langsung.

Namanya Malik, anaknya cukup tengil, wajahnya manis walaupun dengan kaca mata yang aku rasa bentuk frame nya kurang cocok dengan bentuk wajahnya, dia adik tingkatku, tapi rasanya dia orang pertama yang aku larang untuk memanggilku dengan embel embel ‘kak’ entah, aneh saja mendengarnya

“Kamu apa kabar, Dir?” 

Tanya nya padaku sambil meletakkan satu cup americano dan matcha, sepertinya dia juga mengambil pesananku

Thank you udah diambilin, fine aja sih, kaya biasanya”

“kamu hari ini nggak lagi padet kan?” lanjutku

“Tadi padet banget sih, pasien IGD hari ini lumayan bikin aku banyak lari larian sampe aku kejedot pintu ahahaha…..” suara dan caranya tertawa masih sama

“Besok aku lanjut shift pagi” katanya

“Hah? kok nggak bilang? kalau gitu kan istirahat aja, ketemunya bisa direncanain kapan kapan lagi, kan? ih... kok enggak bilang sih?”

Wajahnya benar benar memperhatikanku yang sedang mengomel dengan baik

“Gapapa kali, aku juga lagi pengen nongkrong”

Entah kenapa suaranya datar, dan aku merasa aneh

“Yaudah deh, enggak lama-lama ya, biar kamu bisa sempet istirahat”

“Iya…iya…”

Dia meneguk Americano pesanannya, wah… anak ini nanti pasti tidur larut, pikirku, tapi aku menyadari sesuatu, sejak kuliah, dia sepertinya sudah resisten terhadap kafein

“Kamu masih resisten kopi, Lik?”

“Enggak kok, setahun belakangan ini aku emang udah jarang minum kopi, tapi hari ini emang lagi kangen americano aja”

“Oh ya?” 

Aku agak meragukan kalimat itu karena aku tau dia salah satu pecinta kopi, dulu kalau kita sedang ngobrol berdua, bahasan nya tidak jauh-jauh dari jenis-jenis kopi, aku tidak mengerti dan aku juga jarang minum kopi, tapi aku biarkan saja celotehnya karena aku suka melihatnya seperti itu.

“Iya, asam lambungku makin menjadi jadi hehehe…” lagi lagi tawanya membuatku banyak deja vu

“Lagian, siapa yang pinter banget jam 10 pagi belum makan apa apa, tapi udah bisa minum americano”

“Hah? emang pernah?” wah… dia mempertanyakan ingatanku

“Iya lah, aku inget, setelah itu, jam 12 siang, aku naik ke lantai 4 untuk membawakan mu obat asam lambung”

Setelah itu kita tertawa, lama juga nggak ngobrol sama dia, tapi bagian lucunya adalah, ketimbang kangen sama dia, aku lebih kangen aroma mobilnya yang kalau tidak salah ingat, itu juga aroma kopi.

“Kak, cafe nya lumayan rame ya jam segini”

Respond pertamaku adalah tertawa, entah kenapa, selalu aneh rasanya untuk mendengar dia memanggilku dengan embel embel 'kak'

“Kenapa ketawa?” “oh iya, without kak ya, okey, Dira, u okay? cafenya rame, kalau kamu pengen pindah tempat, bilang ya”

Aku menjawab dengan masih tertawa

“Ya…ya… okay, aku sudah menyiapkan banyak energi untuk ketemu kamu hari ini, jadi cafe ramai ini gak begitu jadi masalah, tapi ternyata kamu masih inget ya, energi sosialku emang cepet habis kalau ketemu banyak orang terlalu lama, tapi sekarang sudah lumayan terbiasa, bagaimana pun aku harus tetap penuh energi menyapa pasien-pasien ku”

“Iya deh, ibu perawat”

“Oh iya, beberapa hari lalu aku ketemu Rina, sempet ngobrol lama, yaa biasa life update empat jam”

“Parah, gak ngajak ngajak”

“Gabisa, it’s gurls time, tapi iya aku kangen anak anak yang lain, apa kabar ya mereka” 

Aku memandangi kaca, langit sudah mulai gelap, entah kenapa rasa sendu tiba tiba menyerang ku, tiba tiba aku merindukan mereka

“Dir… kok tiba tiba bengong gitu?”

Aku masih diam, dia mendekatkan kursinya, menoel noel tanganku

“Plis jangan nangis, aku bakal ngerasa bersalah kalau kamu nangis disini”

“Ih engga ya, aku udah engga se cengeng dulu”

Segerombolan anak anak itu memang sudah sangat hafal seperti apa cengengnya aku semasa kuliah, ya… walaupun sekarang juga masih, sedikit

“Iya deh iya… nanti janji deh kapan kapan kita kumpul full team

Aku nggak bisa dan nggak mau pegang janji, jadi kalimat itu hanya aku semogakan

“Iya…semoga bisa, kapan kapan ya”

Kita sunyi beberapa menit, aku masih memandangi kaca, langit semakin gelap, kendaraan dijalan masih padat, tapi indah untuk dilihat, sejak dulu aku memang sangat menyukai lampu lampu yang ramai di jalanan saat langit gelap mulai membungkus bagian bumi yang aku huni

“Lik” aku memanggilnya

“Hmm?” dia sedang meneguk kopi kesayangannya

“Apa yang terjadi pada otak manusia, sampai bisa merasakan tenang saat melihat pemandangan malam, contohnya lampu lampu di jalan itu” tanyaku. Dia diam satu menit, membenarkan posisi duduknya dan bersiap menjawab pertanyaan ku dengan baik

“Ekhem…oke, jadi gini, kalau kamu bisa ngerasa tenang melihat itu, karena memang lampu-lampu itu bisa mengurangi stres, terus secara efek estetika juga bisa berpengaruh ke otak sebagai pengalaman emosional, mungkin kamu pernah punya kenangan sama situasi itu, dan juga malam kan identiknya dengan ketenangan, jadi kamu bisa merasakan tenang yang lebih mendalam ketika melihat lampu-lampu itu, btw, aku baru tau kamu suka liatnya, sejak kapan?”

“SMA” sahutku singkat

“Berarti ini bisa jadi mekanisme koping kalau kamu lagi stres, Dir, tapi saranku kalau mau pergi buat liat lampu lampu, jangan sendirian ya, malem, bahaya”

“Iya…i know, Malik”

Malik benar di bagian ‘mungkin kamu pernah punya kenangan sama situasi itu’ perihal lampu-lampu itu memang selalu bisa kembali mengingatkan ku pada sosok laki-laki tinggi berkulit putih yang diidolakan setiap perempuan bahkan sejak pertama kali melihatnya

“Dia apa kabar ya sekarang?” tanyaku dalam hati

“Oh iya, kalau kamu suka, kamu bisa pasang lampu tidur di kamar, udah punya belum, Dir?”

“Udah lah, masa lampu tidur aku ga punya”

“Ehh…bukan lampu tidur yang itu”

“Terus?”

“Itu loh lampu lampu yang bentuknya kaya kabel, yang biasanya di pasang di dinding”

“Ohh…itu…”

“Udah punya?”

“Engga, gak punya”

“Yaudah nanti aku beliin”

“Ih… gausah”

“Gapapa, aku belum ngasih kado ulang tahunmu bulan lalu, jadi anggap aja itu kadonya ya hehehe…”

“Terserah lah” aku menjawabnya dengan sedikit tertawa

Ternyata dia masih sama, cara bicaranya, isi pembicaraannya, bagaimana ia selalu menjawab pertanyaanku dengan logis bukan hanya pada pertanyaan yang memang bisa dijawab dengan teori, tapi juga untuk pertanyaan pertanyaan konyol lainnya, dan ya… itu yang membuatku mengaguminya semasa kuliah bahkan sejak pertemuan keduaku dengannya. 

Pernah di satu waktu pukul 20:30 WITA, seusai kegiatan organisasi, kita beristirahat sebentar di gazebo kampus, kebetulan kampusku memiliki satu area yang cukup luas dan ada banyak orang yang selalu nongkrong di sana setiap malam, ada yang mengerjakan tugas, ada yang sekedar berbincang bincang. Hari itu kita sempat ngobrol sebentar, aku, Malik, dan satu adik tingkat ku yang seangkatan dengan Malik, oh ya, aku memang tipikal kakak tingkat yang cukup dekat dengan adik adik tingkatku dan kebanyakan mereka dari program studi kedokteran. Aku lupa awal topik obrolannya apa, tapi yang aku ingat, berdekatan jam pulang, kita membahas tentang ‘peka’, hingga pukul 22:15 akhirnya kita memutuskan pulang, aku dan Malik memarkir motor di tempat yang sama, adik tingkat perempuanku jalan sendirian ke tempatnya parkir motor, dalam perjalanan menuju parkir itu, dengan santainya aku menyampaikan 

“Kamu emang nggak peka, aku pernah suka kamu aja kamu ga tau” 

Dia kaget, tapi tidak percaya, aku berani menyampaikannya karena yang aku tau, hari itu perasaanku padanya sudah tidak ada, tapi ternyata, setelah aku berani menyampaikan itu, seluruh perasaan itu berubah menjadi rasa kagum dan hingga saat ini ternyata rasanya masih sama, perasaan kagum ku tidak berubah persis seperti keadaan yang tidak berubah bahwa aku tidak bisa memiliki perasaan lebih selain kagum padanya dan menganggap dia adikku.

Setelah tawa dan obrolan yang panjang, akhirnya kita memutuskan pulang

Thank you udah mau nemenin aku, Malik”

“Iya sama sama, semangat ya, Dir, kapan kapan kita kumpul full team sama anak-anak yang lain”

“Iya thank you, kamu juga, semangat lanjut shift pagi besok, jangan sampe kejedot pintu lagi”

Sebuah mobil berwarna putih berhenti di depanku, setelah kaca nya dibuka, seorang laki yang masih menggunakan snelli menyapaku

“Hai, udah selesai?”

“Tunggu sebentar, ya” jawabku

Sebelum aku mengenalkannya pada Malik, dia sudah bertanya duluan

“Siapa, Dir?”

“Temenku” 

Kita teman, tapi cukup dekat, dia memang laki-laki yang beberapa bulan ini sedang berusaha mendekati dan meyakinkan aku untuk bisa menerimanya

“Udah jadian?”

“Ih apa sih, Lik”

“Yaudah, apapun itu semoga yang kali ini berhasil ya, gih sana pulang, hati-hati dijalan, bahagia terus ya, Dir” 

Bagian terakhir dari kalimat itu benar-benar membuatku ingin lebih berlama-lama berbincang dengannya. Aku menjawabnya dengan senyum dan anggukan

“Kamu juga ya, yaudah, aku duluan ya, Lik”

Aku membuka pintu mobil dan masuk kedalam, dari kaca spion aku melihatnya langsung menuju parkir.

Dari sepersekian perasaan yang tersisa, ternyata rasa kagum ku masih jadi milikmu, entah hanya sekedar rasa kagum atau bentuk perasaan yang lebih, biarlah itu jadi urusanku. Malik, bahagia selalu, ya.


Komentar

Postingan Populer