Anala
Terkikisnya kemampuanku dalam menulis puisi juga merangkai kata-kata indah, tanpa aku sadar, nyatanya hal itu berjalan beriringan dengan terkikisnya kemampuanku menyampaikan sesuatu bahkan pada kemampuanku meraih perasaan puas atas apa yang sudah aku sampaikan.
Calantha menghampiriku
“Kakak ikut kan?”
“Iya”
“Di mobil Cala aja kak, bareng anak-anak yang lain”
“Boleh Cal”
Hari ini aku mengunjungi tempat yang katanya menjadi rumah dalam masa transisi remaja menuju dewasa sekaligus tempat yang menjadi latar belakang pertemuan pertama seseorang denganku hari itu.
Masih padanya, masih tentang dia yang selalu ingin aku sembunyikan pada bagian paling kecil dalam otak dan hatiku karena entah kenapa ia belum lenyap dari kepalaku.
Dua ratus sepuluh butir obat yang telah aku telan demi bisa menstabilkan zat kimia dalam otak, aku kira cukup untuk membunuh semua memori tentang dia yang nyatanya masih saja kembali terulang dalam kepala setiap aku melihat wajahnya, walaupun kita berjumpa tanpa kata, tapi profesionalitas mengharuskanku untuk sesekali bertemu dengannya.
“Parkirnya langsung depan loby aja ya dik”
“Iya pak, terima kasih”
Sejak kepergiannya, waktu terasa berjalan amat sangat lambat hingga aku pernah singgah pada fase tidak percaya bahwa semua jenis luka dapat diredakan oleh waktu, salah satunya adalah luka akibat kepergiannya.
“Cala, langsung masuk ruangan aja katanya”
Suara itu tidak asing di telingaku
“Oke, Ken”
Benar itu dia.
Kalau dulu aku bertanya tentang bagaimana sensasi tubuh panas selain demam, selepas kepergiannya, aku hafal bagaimana rasanya.
Senyumku masih merekah, tapi jujur aku rindu rasa dimana bahagiaku terisi penuh.
Kalau kau tahu rasanya ingin bahagia, tapi takut dibahagiakan, itu menyebalkan sekali
“Kak, kita mulai sekarang boleh?”
“Iya Cal, biar nggak keburu hujan”
Entah kenapa, rasanya tempat ini menyapaku, tempat dengan banyak cerita yang mungkin ingin disampaikan bangunan-bangunan tinggi ini padaku, namun rasanya aku lebih tertarik menceritakan dia pada bangunan-bangunan ini, tentang bagaimana aku mengenalnya, bagaimana aku mendengar ceritanya, bagaimana aku masuk dalam bimbang untuk melepasnya atau masih bertahan sendirian
Sembilan bulan berlalu, masih teringat jelas dalam kepalaku apa yang aku rasakan hari itu, katakanlah hingga otakku terlambat merespons keadaan yang secara nyata dan penuh kesadaran sedang aku hadapi, percayalah, hari-hari setelah itu aku berjalan dengan menyeret kaki ku bersama darah yang masih berceceran dibelakangnya
Ratusan hari berlalu, jejaknya masih menyisakan banyak bekas yang aku malas saja menghapusnya. Berdasar trauma atau bukan, tapi ketahuilah alasan itu sudah menjadi bentuk kalimat klise di benakku. Entah siapa yang harus aku salahkan, entah bagian mana yang harus nya utuh malah terpotong, entah dari bagian mana aku harus merapikan semuanya lagi sampai satu kenyataan menghampiriku bahwa, benar, aku hanya sedang mempertahankan sesuatu yang benar-benar ingin pergi dan tidak mengizinkan aku menyayanginya lagi.
Mencintai bukan perkara kebal
Jauh dari kata mudah dan asal
Hancur lebih mudah dari bertahan
-Nadin Amizah
Komentar
Posting Komentar