Juni
Juni banyak menyimpan cerita, sudah kali kedua Juni membuat aku menemukan diriku yang selama ini tidak aku kenal, sudah kali kedua Juni menghancurkan hidup, membuat kehilangan, yang ternyata membawaku pada satu keadaan dimana aku bisa menemukan dan mengenal diriku lebih dalam. Tidak banyak dokumentasi, tapi ingatanku masih bekerja dengan baik untuk aku bisa mengingat hal-hal yang sudah menemani prosesku satu tahun belakangan ini. Jalan jauh yang aku tempuh seringnya dibawah terik sinar matahari itu, orang-orang yang aku temui di sepanjang jalan itu, satu demi satu cerita aku sampaikan, gerakan tangan yang menyeka wajah, ratusan butir obat aku telan demi bisa menstabilkan respon kimia dalam otak, hari demi hari aku lalui dengan perasaan tertekan yang sulit dipercaya bahwa suatu hari semua itu akan berakhir, entah bagaimana rasanya untuk kembali mengingat dimana aku merasa dihujam senjata tajam setiap hari, bingung mencari jalan kemana aku harus pergi untuk tidak menemukan diriku di situasi itu, hari demi hari aku lalui dengan harapan sembuh akan datang lebih cepat.
Banyak orang bertanya, aku sedang lari dari apa? Oh, apakah seterlihat itu? Apakah dunia dan isinya tahu aku sedang tidak baik baik saja? Apakah dunia tahu dalam enam puluh kilometer yang aku tempuh, tanganku banyak bergerak untuk menyeka wajah? Kadang sulit diterima secara logika bahwa titik terendah dalam hidup memang akan sempat menghampiri, bahkan aku sudah bertemu satu satunya orang yang membuatku tidak mempercayai penciptaku dalam garis waktu sejauh ini aku hidup, sayangnya aku berhasil mempercayainya dalam waktu sesingkat singkatnya. Dia hebat, hadirnya sebentar, tapi mampu meruntuhkan label orang paling mempercayai semesta, yang aku punya.
Siapa sangka, satu hari dalam hidup, aku menemukan pandangan lurus yang benar benar membuat aku menjatuhkan pilihan untuk tidak akan pernah meletakkan garis maaf padanya. Kalau ternyata hari itu dia hancur, lalu apakah hancur ku dalam tiga ratus enam puluh lima hari, tidak ada dalam perkiraannya? Bukan hanya air berwarna bening, tapi merah juga turut menyertai perjalananku untuk sembuh, dan aku rasa itu tidak sebanding dengan hancurnya yang hanya satu hari itu. Bolehkan aku menginginkan karma nya lebih besar? Bolehkan aku menginginkan untuk bisa menyaksikan bagaimana dia menerima hasil perbuatannya kelak? Bolehkan aku meminta pada semesta dan Tuhan untuk menyetarakan jalan hidupnya dengan apa yang aku lalui satu tahun belakangan ini? Untuk pertama kalinya, satu tahun terasa amat sangat panjang, untuk pertama kalinya, satu tahunku jelas dengan suara tawa yang terpaksa, tapi suara tangis yang rasanya terdengar begitu menyesakkan. Jika tahun tahun sebelumnya tidak terlihat begitu jelas antara sekat sedih dan bahagia yang aku lalui, kali ini terlihat sangat jelas dan sayangnya hal jelas itu terletak pada garis aliran air di pipi, suara tercekat yang menyesakkan setiap malam di sudut ruangan gelap, serta mimpi buruk yang sering menghampiri.
Entah bagaimana semesta merancang hidupku untuk berjalan, entah bagaimana untuk Juni kali ini benar benar menghantam hidupku dengan satu kali tarikan garis. Fase paling menyesakkan, fase paling jatuh, fase paling hilang arah, aku yang dikenal banyak orang dengan pembawaan yang penuh kalimat untuk menciptakan pelabuhan terakhir atas apapun ke dalam diri sendiri, kali ini harus bertemu fase menangisi kebahagiaan orang lain, percayalah, sakitnya bukan lagi berbentuk goresan luka, tapi robekan yang perlu dijahit, pantas saja sembuhnya lama, lukanya tidak aku jahit padahal butuh untuk dijahit, lukanya tidak aku rawat dengan baik sampai aku menyadari ini bukan kali pertama Juni meruntuhkan duniaku, tapi Juni yang sebelumnya tidak meruntuhkan duniaku sesarkas ini.
Percayalah, dalam hidup, fase paling tidak menyenangkan adalah tidak mempercayai penciptamu, fase tidak mempercayai semestamu yang bahkan tanpanya dimana kamu bisa mendapatkan oksigen untuk bernafas setiap hari? Dan untuk kesekian kalinya, siapa sangka Tuhan menguji kepercayaanku dengan cara sekeras itu. Dimana kalimat yang katanya, dalam hidup, aku tidak akan bertemu dengan orang orang yang tidak baik? Sampai terlintas di kepala, apa gunanya aku berdiri di hadapannya jika bahkan aku tidak lagi mempercayainya? Apa gunanya jarak jauh kutempuh dua kali lipat hanya untuk menangis dihadapannya? Sampai dalam satu perjalanan aku menemukan jawaban bahwa, sekalipun aku berdiri dihadapan cermin, yang aku lihat tidak akan sejelas aku melihat orang lain, dan percayalah, detik itu, langit biru di sudut paling kecil mulai tampak di antara langit mendung, abu abu, bahkan hitam yang terus saja ada di atas kepalaku dan selalu mengikuti aku kemanapun aku melangkah.
Jika suatu hari kalimat kalimat ini sampai pada matamu, percayalah, hancurku ada pada titik ribuan kali lipat dari gambaran yang kamu dapatkan dalam tulisan tulisan ini. Bagaimana? Banggakah kamu pernah membuat dunia seorang perempuan sampai di titik sehancur itu?
Jalan pertama yang kutempuh adalah jalan untuk kembali mempercayai semesta dan penciptaku, ketahuilah tujuannya hanya agar kalimat yang aku langitkan kali ini didengar oleh-Nya dan beliau berkenan mengabulkan. Pandanganku berubah, setitik langit biru di sudut paling ujung dan kecil itu menyadarkanku bahwa aku dan kamu adalah sama, kita sama sama manusia yang lahir dari sepasang orang tua yang tentunya ingin melihat buah hatinya bahagia bukan? Atas kedua orang tua ku dan orang tua mu yang sama sama aku kasihi dan hormati, aku langitkan kalimat pada semesta dan pencipta agar apapun yang aku rasakan, sakit, sedih, kecewa, marah, serta ribuan butir air mataku tidak akan pernah menghambat jalanmu untuk membahagiakan orang tua mu apapun caranya. Aku memiliki dua manusia berhati mulia yang selalu mengajarkanku untuk tidak menyimpan kecewa, benci, bahkan dendam pada siapapun, oleh mereka aku diajarkan untuk menerima jika kata maaf tidak pernah aku peroleh, tapi tetap mohonkan ampun serta maaf itu pada penciptanya agar kesalahannya dimaafkan, agar jalan hidupnya dipermudah, untuknya dan untuk membahagiakan kedua orang tuanya, agar kesalahannya padaku tidak menghambat jalan apapun dalam hidupnya sepanjang usianya, dan hari ini, aku langitkan setinggi tingginya kata maaf itu untukmu yang bahkan tidak pernah kamu minta sekalipun.
Akhirnya aku mulai sampai di pertengahan, aku sampai pada jalan jalan dimana aku menyadari bahwa membencimu juga tidak akan membuat aku tenang, bahwa ketenangan bisa aku dapatkan dengan memaafkan, bahwa sembuhku akan berangkat dari menerima dan memaafkan. Prosesnya panjang, tidak usah dibayangkan karena rasanya kamu tidak akan mampu menghadapi dunia yang se sarkas itu, dan lihat bagaimana semesta tetap menyertaiku sekalipun aku sempat meragukannya. Detik itu yang aku pilih adalah jeda, jika kalimat butuh tanda titik dan koma, maka dalam hidup aku butuh istirahat sejenak. Percayalah, sulit untuk aku mampu menemukan diriku yang dulu, sulit untuk aku menemukan diriku yang bisa menyikapi segala hal dengan tenang, dengan kalimat kalimat yang menyadarkan diri sendiri untuk penuh dengan penerimaan, disana aku percaya, disana aku menemukan bahwa diriku sedang hilang. Ya, aku sampai di tahap kehilangan diriku sendiri hingga saat aku melihat cermin, aku bingung, ini siapa?. Jika kata orang hidup penuh eksperimen, kali ini aku sudah melakukan eksperimen yang lebih besar dari sebelumnya, tentang bagaimana satu kalimat sederhana namun susah dipercaya, susah dibuktikan bahkan dengan banyak analogi, sampai aku kembali ke analogi yang paling aku sukai tentang pasir, kalimat yang kumaksud adalah “waktu mampu menyembuhkan apapun!”
Satu demi satu, perlahan lahan aku kembali bertemu dengan pandangan pandangan yang rasanya menjadi petunjuk arah untuk aku bisa pulang ke diriku lagi. Kesadaran pertama yang aku dapatkan adalah, satu kalimat, satu prinsip, satu pandangan, tidak akan mampu memiliki fungsi yang sama di semua hal, di setiap hal, ataupun di segala situasi. Jika menurut orang lain salah satu jalan untuk sembuh adalah menerima sakitnya, tapi untuk pertama kalinya aku sampai pada kenyataan tidak mampu menegakkan kalimat itu, hingga suatu hari pilihan lain datang dihadapanku, dalam pertemuan pertama bahkan aku bisa yakin untuk mengingat nama dan wajahnya dalam waktu yang akan cukup panjang, di tengah hiruk pikuk tawaran untuk bertahan, dia datang sebagai satu satunya manusia yang memberiku pilihan untuk, menghilang.
Rasanya satu titik cahaya biru di sudut paling kecil itu perlahan lahan mulai melebar, apakah itu? Ditengah aku yang merasa tidak mampu untuk menerima pilihan menghilang itu, cahayanya malah melebar, haruskah? Mampukah?.
Satu demi satu angka ada dalam rencana, satu demi satu orang datang ke hadapanku tanpa alasan yang jelas namun dalam sepersekian detik ia mampu membawa perubahan besar dalam hari hariku selanjutnya. Ribuan, ratusan, jutaan, bahkan milyaran langkah sudah ditempuh untuk menemukan sesuatu yang bisa aku sebut bahagia yang selanjutnya, hingga akhirnya menyerah bukan jadi pilihan, tapi lelah tetap butuh istirahat, dan disana aku sadar bahwa salah satu hal yang harus dipelajari adalah, dalam beberapa hal, jangan letakkan keinginan dalam sebuah rencana dan target untuk dicapai segera.
Sembuh bukan perkara mudah sampai aku menyadari hal itu tercapai pada sesuatu yang tidak pernah sekalipun aku letakkan dalam rencana. Benar kata orang, untuk mendapatkan sesuatu, juga akan ada sesuatu yang dikorbankan, entah waktu, tenaga, materi, lingkungan, bahkan yang paling fatal adalah kesehatan, bagaimana mungkin psikis akan mempengaruhi fisik, mempengaruhi pola hidup, bahkan mempengaruhi kesehatan mental, mungkin.
Sudahkah aku sampai di permukaan? Sudah atau sedikit lagi? Rasanya, semakin dewasa, ketenangan akan dengan mudah kamu peroleh ketika berhasil berdamai, ketika berhasil memaafkan, ketika berhasil menerima. Ingatannya sudah samar samar, tapi untuk semua proses yang aku lalui, rekamannya masih jelas. Akhirnya, dalam satu fase kehidupan, aku sudah pernah bertemu titik paling rendah dari semua titik rendah yang pernah aku lalui dalam hidup yang sejauh ini.
Dalam hari hari penuh ragu, dalam hari hari penuh takut, aku menemukan orang orang yang mungkin tanpa mereka sadari, mereka sedang menarik seseorang dari dunianya yang gelap, bahkan orang orang yang baru pertama kali aku kenal, orang orang yang tanpa alasan tiba tiba dekat, tiba tiba mau berdiskusi, tiba tiba mau berbagi tawa, dan untuk mereka, terima kasih yang sebesar besarnya aku sampaikan atas banyak kesadaranku yang tanpa sadar sudah mereka bantu untuk kembali terisi.
Salah satu pelajaran yang sudah kedua kalinya terbukti jelas di depan mata adalah, apapun yang terjadi, bertahanlah untuk sekali lagi yang kesekian kalinya, bertahanlah untuk ketidaksengajaan bertemu dengan orang orang yang tidak kamu ketahui bahwa dunianya juga sedang gelap, dengan dirimu yang juga mungkin sedang hancur, tapi pilihanmu untuk bertahan ternyata mampu menyelamatkan jiwa lain yang juga sedang hancur berantakan, lalu atas rasa terima kasih yang ia langitkan, duniamu akhirnya terselamatkan karena penciptamu mendengar rasa terima kasih sangat tulus yang disampaikan oleh orang yang tidak sengaja kamu bantu itu. Percayalah, hasil perbuatan akan bergerak dengan semestinya, percayalah selalu ada cahaya diujung jalan gelap yang sedang kamu lalui, jadi, tolong bertahanlah untuk sekali lagi.
Rasanya ini terlalu panjang, tapi terima kasih untuk cerita singkat yang berdampak panjang untuk aku, terima kasih untuk cerita singkat yang mengenalkan aku pada banyak hal baru bahkan hal yang sebelumnya tidak berani aku coba lakukan, mungkin tidak selamanya, mungkin tidak selalu seperti itu, tapi kali ini aku bertemu kenyataan dari kalimat, kadang untuk menemukan, kita harus sampai di fase kehilangan terlebih dahulu.
Terima kasih untuk tidak mengulangi kesalahan fatal yang sama untuk kedua kalinya, mari berdamai untuk lebih banyak hal, maafku sudah ada padamu, ah, tunjukan senyummu yang lebih lebar dihadapanku agar sedihku tidak sia sia, dan seperti yang kamu sampaikan, bahwa menyetujui permintaanmu hari itu akan membuat hidupmu lebih tenang, dan sekarang, menerima, berdamai, dan memaafkanmu, juga akan membuat hidupku lebih tenang. Mari temukan bahagia yang lebih banyak, mari temukan matahari serta langit biru dalam perjalanan kita masing masing.
Senang melihatmu bahagia, senang melihatmu menemukan seseorang yang berhasil membawamu kejalan yang lebih baik, mungkin bersamaku gagal, tapi kalian punya waktu yang lebih banyak. Salah satu kata dari namanya adalah kata yang sangat aku sukai, dan mana mungkin aku membencinya, sampaikan salamku padanya, ya.
Menangisi kebahagiaan orang lain rasanya bukan jadi hal yang menyenangkan, dan untuk sekali lagi, biarkan kalimat ini melangit, jika seandainya bahagiaku pernah, sempat, atau bahkan akan membuat orang lain bersedih suatu hari nanti, Tuhan, tolong gantikan bahagianya berkali kali lipat, jauhkan dia dari kesedihan yang berlarut larut, permudah jalan hidupnya dalam segala hal, sertai dia di sepanjang jalan hidupnya.
Kata salah satu penyanyi favoritku, semua hal harus dirayakan, dan lewat tulisan ini, aku merayakan satu tahun hari hariku yang gelap dan penuh suara tangis itu, sudah sembuh, dan semoga segera sembuh seluruhnya, tolong bantu semogakan, ya.
Selamat bahagia untukmu, untuk kalian, dan untuk aku, serta untuk orang orang baik yang semesta dan pencipta kasihi sepanjang usianya.
Selamat sembuh,
Dari satu Juni, menuju Juni yang lainnya.
Komentar
Posting Komentar